Dalam era digital yang sangat cepat ini, kehidupan siswa tidak terlepas dari pengaruh teknologi. Media sosial, aplikasi komunikasi, dan berbagai platform digital telah menjadi komponen esensial dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Namun, di balik kemudahan dan kenyamanan yang disediakan, terdapat tekanan yang tidak dapat diabaikan. Siswa sering terperangkap dalam perbandingan sosial yang tidak sehat, merasakan tekanan untuk selalu berprestasi sempurna, dan mengalami kecemasan akibat ekspektasi tinggi dari lingkungan sekitar.
Tekanan ini dapat memicu gangguan mental yang semakin dini, seperti depresi dan kecemasan, yang kini semakin banyak dialami oleh anak-anak dan remaja. Risiko gangguan mental pada siswa semakin meningkat, dan data terbaru menunjukkan bahwa kasus depresi dan kecemasan di kalangan anak muda telah mencapai angka yang mengkhawatirkan.
Menurut laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), satu dari lima remaja mengalami masalah kesehatan mental. Di Indonesia, survei yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa 18% remaja mengalami gejala depresi, dan angka ini terus meningkat seiring dengan meningkatnya penggunaan media sosial.
Hal ini menunjukkan bahwa kita perlu lebih peka terhadap kondisi mental siswa dan memberikan dukungan yang tepat. Salah satu isu terkini yang memperburuk keadaan adalah dampak pandemi COVID-19 yang masih terasa.
Pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang berlangsung selama pandemi telah mengubah cara siswa berinteraksi dan belajar. Banyak siswa yang merasa terisolasi dan kehilangan motivasi belajar, yang berkontribusi pada meningkatnya masalah kesehatan mental.
Selain itu, fenomena “Zoom fatigue” atau kelelahan akibat pertemuan virtual juga menjadi perhatian, di mana siswa merasa lelah dan tidak produktif setelah berjam-jam terhubung secara online.
Dalam menghadapi tantangan ini, literasi digital dan emosional menjadi sangat penting. Siswa perlu dibekali dengan kemampuan untuk memahami dan mengelola informasi yang mereka terima dari dunia digital.
Pendidikan yang mengintegrasikan literasi digital dan emosional dapat membantu siswa untuk lebih bijak dalam menggunakan teknologi dan mengurangi dampak negatif yang mungkin timbul.
Beberapa sekolah telah mulai mengimplementasikan program-program yang mengajarkan keterampilan ini, tetapi masih banyak yang perlu dilakukan. Peran sekolah dan keluarga sangat krusial dalam menjaga kesehatan mental siswa.
Sekolah harus menciptakan lingkungan yang mendukung, di mana siswa merasa aman untuk berbicara tentang masalah yang mereka hadapi.
Program-program konseling dan pelatihan bagi guru untuk mengenali tanda-tanda gangguan mental dapat menjadi langkah awal yang baik. Di sisi lain, keluarga juga harus berperan aktif dalam mendukung kesehatan mental anak-anak mereka.
Komunikasi yang terbuka dan dukungan emosional dari orang tua dapat membantu siswa merasa lebih dihargai dan dipahami. Dalam konteks ini, penting bagi orang tua untuk memahami tantangan yang dihadapi anak-anak mereka di dunia digital dan memberikan bimbingan yang tepat.
Keseimbangan menjadi kunci dalam menjaga kesehatan mental siswa di era digital. Siswa perlu diajarkan untuk mengatur waktu mereka antara aktivitas online dan offline. Menghabiskan waktu di alam, berinteraksi secara langsung dengan teman-teman, dan melakukan aktivitas fisik dapat membantu mereka menemukan keseimbangan yang sehat.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa aktivitas fisik dan interaksi sosial secara langsung dapat meningkatkan suasana hati dan mengurangi gejala kecemasan. Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, kita semua memiliki kewajiban untuk menciptakan lingkungan yang mendukung bagi para siswa.
Marilah kita bersama-sama memelihara kesehatan mental generasi penerus kita, agar mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di tengah tantangan dunia digital yang semakin rumit.
Melalui kolaborasi antara institusi pendidikan, keluarga, dan komunitas, kita dapat membangun ekosistem yang mendukung kesehatan mental siswa, sehingga mereka dapat menghadapi masa depan dengan keyakinan dan optimisme. (*)